Sepotong Punggung
Selalu ada yang istimewa dari sebuah tempat, katakanlah
orang-orang baru, temu dan pisah yang baru, bahagia dan tawa yang haru, dan
perbincangan yang tak itu-itu melulu. Aku, aku mencintai sebuah tempat jauh
sebelum mengenal pengunjungnya. Kehijauannya, aroma, serta peluk dan rangkul
tanpa pura-pura lebih dulu kukenal. Dan kini tempat itu berubah menjadi yang
lebih istimewa dari pada itu.
Semuanya berawal dari sepotong punggung yang dihadiahkannya di
satu senja. Yah sepotong punggung yang mengaca di kedua bola mataku. Dia duduk
di bangku taman bercat abu-abu. Tangannya membisu merangkul sebuah buku yang
tak dibacanya. Pandangannya tertuju ke depan dan sesekali ke samping,
pikirannya melayang ke segala penjuru. Wajahnya yang asing seketika menjadi
energi baru bagiku. Aku jatuh cinta didetik ke lima belas kala pertama
melihatnya.
Sementara itu aku terus memandanginya persis dikejauhan.
Mataku meliuk-liuk seiring gerakan kepalanya, seperti mata-mata yang mengintai
segerombolan mafia. Sore itu sontak berubah menjadi setangkai senja yang merona,
meski tak kutemui lagi punggung itu disela-sela senja berikutnya. Terimakasih
telah datang bertamu tanpa menjamu, tanpa bertemu dan berpisah, tanpa bahagia
dan tawa, dan tanpa basa-basinya bincang-bincang. Sepotong punggung itu telah
mengajariku bagaimana mencintai sebuah tempat dengan jujur. Bahwa dalam mencinta tak
perlu ada yang kedua dan yang ketiga.
Komentar