Sepucuk Surat Untuk Bidadari
Tak pernah kutulis surat untukmu sebelumnya, tapi hari ini
izinkanlah aku memberimu peluk dalam bentuk kata-kata. Agar hilang resahmu,
agar reda segala gelisah yang bergemuruh dihidupmu akhir-akhir ini
Mak, aku tahu hidup menampar begitu keras belakangan ini.
Air matamu tumpah begitu sering. Semangatmu terbang jauh semenjak ditinggal
kekasih hidupmu tanpa pamit. Senyumpun sepertinya terpaksa hadir diwajahmu. Aku
melihat semua itu dalam pahit dan getir yang sama. Tak mampu kuberikan bahagia
yang kupunya. Bahagiamu tertutup kabut. Jalangnya hidup merajai segala
inderamu. Membuat matahari di kepalamu tertutup redup kehilangan cahayanya.
Mak, tulangmu memang tak sekokoh yang dulu untuk melangkah.
Rupamu memang tak seindah yang dulu tempat senyum merekah memesona. Tapi hatimu
masih luas tempatku pulang. Pundakmu selalu ada saat duniaku tak baik-baik
saja. Kau adalah alasanku sejauh ini bertahan dibalik perihnya perjalanan. Tak
pernah bosan kau bilang sederhana dan sabar adalah kuncinya. Kau sampaikan
dalam tindakan yang tak pernah kulupa. Tak heran sifat itu mengakar dalam
diriku, dan tumbuh kemanapun kaki menempuh perjalanan
Mak, tak bisaku salahkan waktu atas ini. Tak bisa kukutuki
takdirku yang dilahirkan sebagai penutup dirahimmu. Menikmatimu dalam suasana tua
renta memang sudah dijodohkan denganku. Semesta berlaku sesuai kehendaknya.
Mentakdirkan kita bermetamorfosis dari lemah menjadi lemah kembali. Seakan ada
pesan yang hendak disampaikan semesta bahwa Dialah yang dzat yang abadi.
Mak, melalui surat yang singkat ini rasanya tak layak bagiku
mengutarakan rasa jika yang kau punya jauh lebih baik. Aku hanya hendak
berpesan kepada siapa saja yang masih punya orang tua, mengabdilah dengan
kesungguhan. Sebab waktu tak selamanya bersahabat. Maut bisa datang kapan saja
mengabarkan perpisahan. Dan penyesalan tiada berguna diakhir cerita. Mari
bergegas selagi nafas masih tersisa dikerongkongan.
Batam, 07 June 2017
Anakmu

Komentar